Refleksi Perjalanan AKATIGA di Usia Ke-29 Tahun
Saya pertama kali bergabung dengan AKATIGA pada tahun 1998, sejenak setelah krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia. Saya bergabung dalam tim peneliti yang melihat dampak krisis moneter (krismon) terhadap usaha kecil dan menengah (UMKM) sebagai surveyor, dan kemudian sebagai penginput dan pengolah data dengan program SPSS.
Dalam perjalanan selanjutnya, AKATIGA mengajak saya bergabung sebagai peneliti junior. Keterlibatan saya terutama terkait dengan isu-isu usaha kecil mikro, isu keuangan mikro, dan isu-isu relasi gender di dalam dunia usaha dan pemberdayaan. Keterlibatan saya dengan AKATIGA ternyata berlanjut sampai sekarang, dua puluh dua tahun kemudian sejak survei dampak krismon itu, dan di mana kita berada di krisis yang lain yaitu pandemi COVID-19.
Selama dua puluh dua tahun perjalanan AKATIGA, saya juga merasakan konsistensi AKATIGA untuk dalam hal keberpihakan terhadap kaum marjinal dan memberikan hasil penelitian yang akurat dan dengan metode ilmiah yang ketat dan dapat ditpertanggungjawabkan. Kedua hal tersebut dipegang teguh secara bersama. Keberpihakan tanpa dibarengi dengan kehati-hatian dan ketelitian dalam penelitian dapat menurunkan kredibilitas hasil penelitian dan rekomendasi, yang pada ujungnya dapat kontraproduktif terhadap upaya penguatan kaum marjinal sendiri. Dalam menjaga kualitas penelitian, kami sangat beruntung mendapatkan mentoring dari peneliti-peneliti senior yang handal baik dari dalam maupun luar negeri.
Seiring dengan perkembangan waktu dan kondisi ekonomi politik, penelitian kami juga mengalami pergeseran dalam titik tekan. AKATIGA berdiri pada masa rezim Orde Baru. Dalam kondisi represif dari Orde Baru tersebut, penelitian AKATIGA lebih banyak menampilkan kondisi nyata kelompok marjinal utamanya buruh, pelaku usaha kecil, dan petani. Penelitian-penelitian AKATIGA membongkar praktek-praktek subkontrak dan pola inti-plasma yang merugikan kelompok petani dan pengusaha kecil, pergeseran agrarian, serta proses-proses eksploitasi terhadap buruh industri.
Pada masa krisis moneter, kami melihat dampak krisis tersebut pada berbagai kelompok masyarakat, utamanya pelaku UMKM, buruh, dan perempuan miskin kota. Salah satu temuan utama dari hasil riset tersebut adalah peranan penting UMKM sebagai bantalan penyerapan tenaga kerja, terutama pada sektor informal perkotaan dan sektor pertanian/perkebunan. Buzzwords penguatan usaha kecil sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia mulai muncul pada periode ini.
Pasca krismon dan awal maraknya demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, terdapat upaya massif untuk penguatan masyarakat kelompok bawah dalam proses kebijakan. Merespon perkembangan ini, penelitian-penelitian kami juga diletakkan dalam konteks itu, dan terutama bekerjasama dengan kelompok masyarakat sipil yang melakukan penguatan kelompok marjinal. Di samping itu, AKATIGA mulai melakukan berbagai evaluasi terhadap program pembangunan, termasuk di dalamnya PNPM dan PKH. Dalam beberapa tahun ini, kami meletakkan fokus penelitian tentang UMKM, petani, dan buruh dalam konteks kesempatan kerja bagi orang muda.
Secara individu, AKATIGA memberikan kesempatan untuk belajar terus menerus. Dulu saya sering ditanya, apa yang menarik dari pekerjaan penelitian ini. Saya jawab, di AKATIGA jalan-jalan ke tempat baru dan baca buku/artikel, baru dibayarin (Tentu saya tidak menyebutkan bahwa menulis catatan lapangan dan transkrip wawancara itu sangat membosankan, meskipun penting). Proses belajar terus menerus itu juga dilakukan melalui diskusi intensif peneliti termasuk dengan peneliti senior. Hubungan yang relatif cair membuat diskusi-diskusi tersebut relatif tidak berjarak, meskipun dengan topik yang sangat dalam.
AKATIGA juga mendorong peneliti-peneliti muda untuk tampil dan mewakili lembaga dalam presentasi resmi maupun dalam karya tulisan (buku dan jurnal), bahkan menjadi koordinator tim studi. Selepas studi dampak krisis, saya menjadi kooridnator beberapa studi, di antaranya tentang dampak lembaga keuangan syariah bagi usaha kecil, bekerja sama dengan Yayasan Peramu Bogor. Kepercayaaan semacam itu memberikan kesempatan luar biasa besar untuk sekaligus membangun kapasitas dalam perancangan studi, membangun kolaborasi dengan lembaga lain, memimpin studi, dan bahkan menuliskannya dalam sebuah buku.
Melalui AKATIGA pula saya memperoleh beasiswa Fulbright pada tahun 2004. Salah satu pewawancara pada saat seleksi adalah pimpinan lembaga donor yang sebelumnya bekerjasama dengan AKATIGA. Meskipun beliau nggak kenal saya secara pribadi, pengalaman dengan AKATIGA membuatnya meyakinkan komite seleksi bahwa saya kandidat yang cocok untuk beasiswa tersebut.
Tentu saja perjalanan AKATIGA (dan perjalanan saya pribadi) tidak selalu mulus. Ada naik turunnya. Namun kedekatan dan semangat untuk tetap mempertahankan lembaga ini ada di berbagai lapisan AKATIGA, mulai dari pendiri sampai peneliti junior. Tentu juga hal ini berkat dukungan dan kepercayaan berbagai lembaga dan jaringan AKATIGA. Karena itu, di usianya yang 29 tahun ini, kami menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kepercayaan teman-teman AKATIGA dan berdoa semoga kami dapat terus berkontribusi terhadap perbaikan kelompok marjinal di Indonesia.
Bandung, 16 September 2020
Nurul Widyaningrum
Direktur Eksekutif AKATIGA