Ancaman PHK
Dalam dua bulan terakhir, nada dasar suara dan arus utama dunia industri dan ketenagakerjaan kita didominasi oleh pemberitaan mengenai ancaman PHK di berbagai pabrik di seantero Jawa Barat sebagai wujud dampak krisis global dan perdebatan mengenai kenaikan upah minimum. Pemerintah pusat dalam upaya mengatasi dampak krisis global tersebut tiba-tiba mengeluarkan SKB 4 Menteri yang tidak popular itu dan segera menimbulkan gelombang protes dari kaum pekerja. Bagi pengusaha situasi ini ibarat telah jatuh ditimpa tangga: order berkurang, upah harus naik. Kondisi ini direspon dengan pernyataan kemungkinan pengurangan pekerja melalui berbagai cara termasuk PHK. Bagi pekerja situasi ini juga setali tiga uang: terancam PHK dan terancam menerima upah yang tidak mengejar kebutuhan hidup.
Situasi industri dan ketenagakerjaan semacam itu jelas tidak menguntungkan siapapun, bahkan justru membawa potensi keresahan sosial yang mungkin meluas sebagaimana diangkat harian ini beberapa waktu yang lalu (PR 21 Nov 2008). Dalam ulasan tersebut harian ini mempertanyakan apakah pemerintah telah siap melakukan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah tersebut. Tulisan ini hendak memberikan apresiasi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah provinsi dan mengusulkan langkah-langkah lanjutan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah keresahan sekaligus memulai aksi konkrit untuk mendorong pasar dalam negeri dan menggairahkan sector riil, dua upaya yang banyak disuarakan berbagai kalangan terutama pengusaha untuk mencegah potensi meluasnya dampak krisis global dan munculnya krisis yang sesungguhnya bagi masyarakat kita.
Apresiasi diberikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat yang telah mengeluarkan kebijakan kenaikan upah minimum untuk tahun 2009 sebesar 10-12%. Kebijakan kenaikan upah minimum ini dengan demikian telah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah untuk bersikap sangat realistis dan memahami situasi masyarakat, dibandingkan pemerintah pusat melalui SKBnya. Mengapa? Penetapan kenaikan upah minimum tersebut telah membantu mempertahankan daya beli masyarakat pekerja di tengah besarnya angka inflasi dan kenaikan harga-harga barang kebutuhan yang merisaukan.
Daya beli masyarakat merupakan kata kunci dalam upaya mendorong pasar dalam negeri dan menggerakkan sector riil. Ancaman PHK dan kenaikan upah yang rendah justru akan menciptakan kondisi yang kontraproduktif terhadap kedua upaya tersebut. Berbagai studi dan pengamatan yang cermat memperlihatkan bahwa masyarakat pekerja adalah penggerak dan pembelanja utama kegiatan dan produk ekonomi lokal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pusat-pusat industri dan pusat-pusat permukiman pekerja adalah jantung kegiatan ekonomi lokal yang sangat nyata. PHK massal sebagaimana pernah terjadi tahun 1998 dan 2002 telah dengan seketika meredupkan usaha-usaha ekonomi dan pasar produk usaha dan membawa efek berantai berupa pengangguran di kalangan pelaku usaha-usaha tersebut. Upah yang rendah mempunyai implikasi yang tak berbeda karena daya beli yang rendah membuat konsumsi jauh menurun. Konsumsi yang jauh menurun berdampak pada lesunya kegiatan usaha yang secara berantai dan agregat akan membuat lesu kehidupan ekonomi masyarakat.
Itulah sebabnya pemerintah sangat berkepentingan untuk menjaga lancarnya kegiatan ekonomi dan perlu melakukan berbagai langkah dan kebijakan yang mendukung yang ditujukan bagi pengusaha dan pekerja sekaligus. Kebijakan kenaikan upah minimum perlu dilengkapi dengan kebijakan mengawal secara serius pelaksanaannya. Dalam hal ini Depnaker, Kanwil Depnaker di Propinsi maupun Disnaker Kota/ Kabupaten sebagai instansi yang bertanggungjawab terhadap pengawasan masalah ketenagakerjaan perlu lebih ketat memantau perusahaan yang tidak melaksanakan dan memeriksa apakah prosedur tidak dibayarkannya upah minimum telah dilalui.
Apabila sebuah perusahaan benar-benar tidak mampu membayar upah buruhnya sesuai UMK/UMP yang berlaku, maka perusahaan itu harus mengajukan penangguhan kenaikan upah sesuai prosedur yang tercantum dalam Kepmenakertrans No. Kep 231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Situasi krisis ekonomi global yang dipandang sebagai ancaman keberlangsungan usaha di Indonesia saat ini sama sekali bukan alasan untuk menyalahi prosedur ini.
Di dalam Kepmenakertrans itu jelas termuat aturan bahwa perusahaan yang akan meminta penangguhan harus merundingkan rencana penundaan itu dengan serikat buruh yang ada di perusahaan tersebut atau dengan perwakilan buruh bila belum ada serikat buruh di perusahaan itu (pasal 4). Apabila prosedur ini sudah dilakukan, maka tahap berikutnya dalam pengajuan penangguhan penerapan upah minimum mensyaratkan perusahaan harus melampirkan laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasannya untuk dua tahun terakhir (pasal 4 ayat 1b). Permohonan penangguhan juga harus dilampiri dengan perkembangan produksi dan pemasaran selama 2 tahun terakhir serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 tahun yang akan datang (pasal 4 ayat 1f). Berdasarkan permohonan tersebut, Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk dapat meminta akuntan publik untuk memeriksa keadaan keuangan guna membuktikan ketidakmampuan perusahaan tersebut atas biaya perusahaan (psl 4 ayat 3).
Kepmenakertrans tersebut jelas harus dimaknai bahwa penangguhan penerapan upah minimum hanya dapat dilakukan manakala perusahaan yang bersangkutan benar-benar sudah merugi yang ditunjukkan dengan laporan keuangan yang tidak sehat selama 2 tahun terakhir, dan bukan sebagai alat untuk menekan ongkos buruh dalam struktur biaya produksi. Kepmenakertrans ini juga merupakan piranti bagi Depnaker, Kanwil Depnaker dan Disnaker untuk secara profesional menilai kelayakan sebuah perusahaan mendapatkan penangguhan. Rencana kenaikan upah sebesar 10% di sector garmen dan tekstil, rata-rata hanya meningkatkan kenaikan biaya buruh antara 1%-2% dalam struktur biaya produksi, sementara pada saat yang sama harga serat kapas sebagai bahan baku tekstil turun dari $89 per ton menjadi $49 per ton sejak Maret sampai Oktober 2008 dan diprediksi akan terus turun hingga Desember 2008 (sumber: http://www.indotextiles.com). Bila diasumsikan bahwa proporsi bahan baku dalam struktur biaya produksi sebuah perusahaan tekstil adalah 30%, maka penurunan harga bahan baku serat kapas ini akan mengoreksi biaya produksi hingga 13,5%, jauh melampaui kenaikan upah buruh.
Kelengkapan kebijakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan insentif bagi pengusaha agar taat membayar upah minimum. Insentif tersebut berupa penghapusan peraturan-peraturan daerah dari tingkat provinsi hingga desa yang legal maupun illegal untuk meringankan beban biaya produksi. Studi AKATIGA tahun 2007 mengenai hambatan usaha dalam industri tekstil dan produk tekstil di kota dan kabupaten Bandung menunjukkan bahwa hambatan utama yang dihadapi oleh para pengusaha adalah tingginya angka pungutan yang mencapai 9.3% dari total biaya produksi. Penghapusan atau pengurangan pungutan akan sangat membantu pengusaha untuk membayar upah pekerja sesuai dengan kesepakatan dan keputusan pemerintah.Kebijakan-kebijakan tersebut bersifat sederhana dan bukan hal yang baru serta sulit dilakukan, karena institusi kelengkapannya sudah tersedia, akan tetapi hasilnya akan sangat efektif dan menyenangkan serta menenangkan bagi semua pihak.