Bank Dunia dan Good Governance
Dengan nilai pinjaman ketiga tertinggi di Indonesia pada tahun 2005 (8,8 miliar dolar AS, setelah Jepang dan IMF), Bank Dunia adalah institusi paling berpengaruh sekaligus paling kontroversial di Indonesia saat ini. Ia dipuja sekaligus dicaci. Harapan bagi negara miskin sekaligus penyakit buat para penentang “neokolonial” korporasi globalisasi. Berbagai opini telah diberikan tetapi seperti apakah Bank Dunia itu?
Bank Dunia sering disebut sebagai institusi “Bretton Wood”, karena di dalam konferensi yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire, itulah Bank Dunia pertama kali dibentuk 62 tahun silam. Klien pertamanya Prancis yang digelontori pinjaman senilai USD 250 miliar untuk rekonstruksi pascaperang. Bank Dunia bernama panjang International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Bersama The International Finance Corporation (IFC), International Development Association (IDA), Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), dan International Centre for Settlement of Investment Disputes Kelompok ini memberi pinjaman pada negara sedang berkembang dengan tujuan memerangi kemiskinan dan mendorong tumbuhnya investasi internasional. (ICSID), mereka disebut Kelompok Bank Dunia.
Secara institusional, Kelompok Bank Dunia dimiliki oleh pemerintah negara anggotanya. Setiap negara anggota memiliki hak suara yang sama, tetapi ada suara-suara tambahan yang diberikan bergantung pada besarnya kontribusi finansial negara anggota kepada organisasi tersebut. Dengan demikian, besarnya kontribusi finansial setiap negara akan menentukan besarnya hak suara. Sebagai akibatnya, Bank Dunia dikuasai oleh negara-negara maju, sementara sebagian besar klien Bank Dunia adalah negara-negara sedang berkembang. Data terakhir, pada 1 November 2004 AS memegang hak suara paling besar (16.4% dari seluruh total suara), disusul Jepang (7.9%), Jerman (4.5%), serta Inggris dan Prancis sebesar 4.3%. Secara prosedural, setiap keputusan besar mensyaratkan terkumpulnya 85% suara. Itu artinya, AS dapat memblok setiap keputusan yang tidak disetujuinya.
Kegiatan dan aktivitas Bank Dunia selalu difokuskan pada negara sedang berkembang. Bantuan biasanya diberikan untuk pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan), pertanian dan pembangunan perdesaan (irigasi, pelayanan di desa), lingkungan, dan infrastruktur. Akan tetapi, selama tahun-tahun terakhir ini fokus bantuan diberikan untuk mengurangi korupsi yang sejalan dengan agenda perbaikan tata pemerintahan. Bank Dunia memberi pinjaman dengan tarif preferensial kepada negara-negara anggota yang sedang dalam kesusahan. Sebagai balasannya, Bank Dunia juga meminta pemerintah menempuh langkah-langkah ekonomi tertentu agar, misalnya, tindak korupsi dapat dibatasi atau demokrasi dikembangkan yang secara spesifik ditujukan sekaligus untuk mengubah institusi atau menciptakan institusi baru. Peran terakhir itu dipandang penentangnya sebagai Bank Dunia tengah berpolitik karena melemahkan kedaulatan negara penerima pinjaman melalui liberalisasi ekonomi. Sebuah bentuk kolonialisme baru. Apalagi AS kerap dituding berada di belakang Bank Dunia dan mendapat manfaat paling banyak dari aktivitas Bank Dunia.
Kritik lainnya, seperti dikutip wikipedia, Bank Dunia beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip neoliberalisme, berdasarkan keyakinan bahwa pasar (bebas) dapat membawa kemakmuran kepada negara-negara yang mempraktikkan kompetisi bebas, tanpa campur tangan apa pun. Dalam perspektif ini, reformasi yang berinspirasikan “neoliberal” tidak selalu tepat bagi negara-negara yang mengalami konflik (perang etnis, konflik perbatasan, dsb.) atau yang telah lama berada dalam kondisi tertekan (diktator atau penjajahan) dan negara yang tidak memiliki sistem politik demokratis yang stabil. Dalam sudut pandang ini, Bank Dunia lebih memilih masuknya perusahaan-perusahaan asing ketimbang pengembangan ekonomi lokal negara yang bersangkutan.
Bank Dunia juga kerap dituding tak bisa menjalankan mandatnya. Banyak projek dan kebijakan yang ditekankan oleh Bank Dunia tidak ada kaitannya dengan pengentasan kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Kebijakan ekonomi makro yang ditekankan oleh Bank Dunia telah menyebabkan beban utang yang akhirnya ditanggung oleh rakyat melalui kenaikan harga-harga pelayanan sosial dan kebutuhan dasar. Akibatnya bertentangan dengan tujuan semula, orang miskin menjadi lebih banyak dan lebih miskin, menjadi lebih berbahaya karena justru memperburuk pembangunan ekonomi, merusak lingkungan alam, dan memperlemah ekonomi lokal negara anggota.
Perubahan besar dari kebijakan Bank Dunia terjadi pada tahun 1996, sejalan dengan penunjukan James Wolfensohn menjadi Presiden Bank Dunia. Wolfensohn menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama Bank Dunia. Agenda ini lebih populer dengan sebutan good governance. Dengan agenda ini diharapkan, tata pemerintahan menjadi lebih transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab. Semuanya itu ditujukan untuk mengurangi korupsi.
Kebijakan ini dikuatkan pada tahun 1998 menyusul dikeluarkannya laporan berjudul “Assessing Aid: What Works, What Doesn’t, and Why”. Maka agenda good governance masuk secara resmi di dalam skema-skema pinjaman. Di dalam laporan tersebut Bank Dunia mendesak kelompok-kelompok donor untuk memasukkan good governance sebagai persyaratan pinjaman. Di dalam Country Assistance Strategy (CAS) Bank Dunia yang diumumkan pada Desember 2003, Andrew Steer, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia, menyatakan, good governance dan korupsi menjadi persyaratan pinjaman yang, jika mampu dipenuhi, maka Indonesia akan mengalami peningkatan pinjaman menjadi USD 1,4 miliar setahun (dari rata-rata pinjaman yang biasanya sekira Rp 400 juta dolar/tahun). Selanjutnya, good governance menjadi kata yang populer dan digunakan oleh berbagai pihak. Tak ada dana tanpa good governance.
Kebijakan ini menuai dikritik. Para pengritiknya menilai, tambahan “persyaratan” itu berlawanan dengan mandat yang diberikan kepada Bank Dunia (pasal 10). Soalnya, Bank Dunia sudah dimandatkan untuk tidak terlibat dalam politik negara anggotanya. Bank Dunia seharusnya fokus pada perubahan di wilayah ekonomi saja melalui persyaratan kebijakan fiskalnya seperti pemotongan subsidi, deregulasi, serta liberalisasi perdagangan, dan institusi finansial seperti dulu dan tidak campur tangan dengan ikut mereformasi dan mengubah institusi seperti tersirat dalam persyaratan tambahannya.
Memang, perubahan di institusi itu jelas akan menarik investasi asing. Karena dengan terjadinya reformasi dan perubahan institusi, investasi nantinya tidak lagi ditentukan hanya dengan analisis mengenai ketersediaan buruh yang dibayar murah melainkan sangat bergantung pada stabilitas dari sistem keuangan dan hukum seperti transparansi bank, peraturan pasar, dan sistem hukum yang jelas. Hal itu akan menjamin apa yang oleh kelompok neoliberal disebut agenda pasar bebas dan terjaminnya perdagangan internasional. Dengan demikian, perubahan-perubahan di sisi good governance sebetulnya berorientasi untuk menguatkan perubahan dan perbaikan berfungsinya sistem pasar dengan mengurangi peran negara hanya pada penyedia perangkat hukum yang terus menerus diawasi oleh kontrol dari masyarakat sipil daripada mempromosikan isu-isu yang fundamental di dalam demokrasi yaitu penegakan HAM, pemberian kekuatan politik kepada kelompok-kelompok marginal serta kelompok-kelompok miskin.
Good governance itu sendiri dikritik sebagai tipe demokrasi baru yang sebetulnya “pengemasan” paling berbahaya yang pernah dilakukan kelompok neoliberal untuk memasukkan agenda mereka dengan masuk langsung dalam sistem politik (me-manage satu negara), menghilangkan “peran negara”, dan menggantikannya dengan “pasar” yang tersembunyi lewat kata “masyarakat sipil” (Leftwich: 1993, Gibson: 1993; Hadenius dan Uggla: 1990).
Dengan demikian agenda good governance dapat dilihat sebagai upaya lembaga multilateral untuk melakukan intervensi lebih jauh ke dalam sistem politik-ekonomi Indonesia agar bisa ikut mengambil keputusan tentang bagaimana seharusnya institusi negara berperan agar bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi kepentingan kapitalisasi di era global ini.