Dari ngantor di Jakarta sampai ngebon di Lembang
oleh Lidya Sophiani
Meski kakek, nenek, dan paman-paman saya banyak yang bertani, saya nggak pernah berpikir akan tertarik untuk bertani. Setelah lulus kuliah pun, saya memilih untuk meniti karir di ibukota. Dengan gaji dan pekerjaan yang cukup nyaman, tentu tidak pernah terlintas di benak saya bahwa suatu saat saya akan banting setir, terjun ke agribisnis, dan mulai bertani.
Tapi nyatanya itulah yang terjadi.
Hidup memang penuh kejutan. Ketika kasus COVID-19 pertama diumumkan di Indonesia, setelah hampir empat tahun menetap di Jakarta, saya terpaksa pulang kampung ke Bandung dan kerja dari rumah.
Saya ingat, ketika saya baru pulang ke Bandung, semua supermarket ramai dikunjungi orang-orang yang mulai melakukan panic buying karena takut kehabisan bahan makanan jika lockdown diberlakukan. Situasi ini juga akhirnya mendorong banyak bisnis jasa belanja bahan makanan online melejit. Tapi meski begitu, lagi-lagi saya tetap belum berpikir untuk memberikan solusi dengan memberikan jasa penjualan sayuran secara online, hingga pada suatu hari saya mengunjungi perkebunan salah satu paman saya dan menemukan sesuatu yang janggal.
“Mang, kenapa itu buah tomat seeur keneh teu di ala?” (Paman, kenapa itu tomat masih banyak tapi nggak dipanen?) tanya saya kepada paman ketika melihat banyak tomat masih bagus yang dibiarkan saja di kebun.
“Rugi kalau panen! Biarkan saja busuk di kebun, tidak ada biaya panen”
Saya cukup kaget mendengar jawabannya.
Miris rasanya. Di satu sisi, banyak orang takut kelaparan dan kekurangan bahan makanan. Namun di sisi lain, petani rela hasil kerja keras pertanian busuk di bawah mentari karena tidak punya biaya panen.
Saya bertanya kembali, “Naha kitu mang? Mun dijual teu payu?” (Kenapa demikian, paman? Memang kalau dijual tidak laku?)
“Enya, murah pisan!”(Iya (harganya) murah banget! (kalau dijual))
“Sabaraha kitu?”(Emang berapa (harganya)?)
“1.500 sakilo!”(1.500 per kilo)
Lagi-lagi saya terkaget, kaget. Harga tomat kiloan yang saya beli di supermarket adalah 12.000 per kilo, dan uang yang sampai ke petani hanya 1/10 dari harga yang saya beli?!
Sedih, kecewa, dan bingung. Mungkin kira-kira itu perasaan saya ketika tau betapa kecilnya hasil penghargaan yang diterima paman saya. Kalau saya kerja keras tiga bulan nggak dibayar, atau dihargai super rendah, nggak mungkin saya diam dan nerimo-nerimo saja. Tapi nyatanya paman itu yang dihadapi paman saya. Beliau bukan pekerja kantoran seperti saya, dan dengan kondisi pasar yang ada, beliau tidak punya pilihan.
Melihat hal ini, tentu saya merasa tidak bisa tinggal diam. “Cing lah ku abdi bade ditawarkeun ka rerencangan” (Sini saya coba tawarkan sama teman)”, saya bilang.
Akhirnya saya bawa sekitar 20kg tomat dan 20kg jeruk chokun kecil yang saya beli dengan harga tiga kali lipat dari harga yang dipasang oleh para tengkulak. Saya menjual ke teman-teman saya dengan harga sedikit lebih rendah dari harga di supermarket saat itu.
Pemasaran Digital dan Inovasi Produk
Gayung bersambut, ternyata belum sampai satu minggu, seluruh tomat dan jeruk habis terjual. Saya pun kembali membeli sekitar dua kali jumlah pembelian sebelumnya untuk masing-masing tomat dan jeruk.
Ketika menawarkan jeruk, ada beberapa teman yang meminta agar jeruknya diperas saja dulu ke dalam botol. Maka saya akhirnya mulai menjual ekstrak jeruk botolan yang kemudian laku keras. Dalam dua bulan saja saya dan keluarga menjual lebih dari seratus botol dimana satu botolnya mengandung ekstrak dari 2.5kg jeruk.
Setelah menjual ekstrak jeruk, saya dan keluarga kemudian terpikirkan untuk mengolah tomat-tomat yang sudah cukup matang menjadi bolognese sauce. Dengan diolah menjadi bolognese sauce, produk memiliki nilai tambah dan tahan lebih lama.
Awalnya saya dan keluarga hanya menawarkan pada kerabat dan teman via WhatsApp. Pembeli memasan via WhatsApp dan melakukan pembayaran sesuai jumlah yang diinformasikan. Setelah itu, saya akan mengirimkan pesanan ke alamat pembeli.
Setelah memiliki cukup banyak pembeli, akhirnya saya dan adik saya mulai merambah Instagram dengan nama Cibodas Family Farm untuk memasarkan produk-produk pertanian dari kebun paman dan keluarga besar di Desa Cibodas, Lembang.
Belajar Menanam dan Merawat Jeruk
Sekitar dua bulan berjalan, jeruk yang diambil dari kebun paman habis, hingga akhirnya saya dan keluarga kemudian mencari buah jeruk ke kebun-kebun di sekitar. Dalam proses pencarian ini saya belajar banyak tentang jenis-jenis jeruk: mulai dari jeruk peras, jeruk garut, jeruk dekopon, jeruk lemon, jeruk chokun, hingga jeruk fremont. Saya juga belajar cara menanam dan merawat hingga buahnya bisa banyak dan lebat.
Setelah menjual dan membuat ekstrak jeruk dari beberapa jenis jeruk yang berbeda, saya memutuskan untuk membeli bibit buah fremont karena rasanya yang unik. Bersama keluarga, saya kemudian membeli dan menanam 100 pohon baru di lahan yang sebelumnya ditanami tomat. Berbekal ilmu merawat pohon jeruk dari petani-petani yang kami kunjungi, kami memulai proses sebelum mulai menanam dengan memberikan pupuk kandang pada lahan yang akan ditanami salah satu pilihan pupuk yang ramah lingkungan karena menggunakan apa yang dihasilkan alam (kotoran hewan) untuk dikembalikan kepada alam.
Beberapa minggu yang lalu, pohon-pohon jeruk fremont kecil itu akhirnya sudah kami tanam di kebun paman dan saya tidak sabar melihat pohon-pohon itu tumbuh tinggi dengan buah yang lebat dan manis.
Kekuatan Anak Muda
Pandemi COVID-19 ini menjadi sumber berbagai permasalahan dan perubahan yang tidak diharapkan dan diduga-duga. Begitupun bagi saya sekeluarga. Namun dari pengalaman ini, saya belajar bahwa selalu ada jalan keluar dan kesempatan, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun.
Saya dan adik juga menyadari pentingnya peran anak muda yang melek teknologi demi pertanian yang lebih sejahtera.
Selama ini para petani begitu bergantung pada para tengkulak yang telah menguasai jalur distribusi ke pasar-pasar besar maupun kecil. Namun disaat para tengkulak kini kesulitan menjual ke pasar besar, harga akhirnya jatuh. Ini merrupakan pangkal permasalahan para petani yang mengandalkan satu jalur distribusi dan satu cara pemasaran.
Kunci kesejahteraan petani ada pada pasar yang adil.
Di dunia yang serba digital ini, maka kefasihan digital anak muda menjadi faktor penting dalam menciptakan keadilan pasar dengan menciptakan jalur-jalur pemasaran baru, terutama melalui bantuan teknologi dan platform digital.
Jika sebelumnya pemasaran langsung ke konsumen menjadi hal yang sulit bahkan hampir mustahil bagi banyak petani — maka melalui kefasihan digital, hal ini menjadi mungkin.
Penggunaan teknologi dapat memutus rantai distribusi yang panjang menjadi lebih pendek. Dengan demikian petani bisa menjual dengan harga yang lebih tinggi dan konsumen pun diuntungkan karena bisa mendapatkan hasil pertanian yang segar, langsung dari kebun, dan dengan harga yang lebih murah dari harga supermarket.
Tak hanya itu, dengan melek teknologi dan informasi, maka kita bisa membantu petani menyediakan produk pertanian yang diinginkan pasar.
Misalnya, seiring meningkatnya kesadaran masayarakat akan pentingnya hasil tani yang sehat dan bebas pestisida, hasil tani organik kini diminati dan bahkan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Selain itu, masyarakat juga sudah lebih peka akan perlunya kemasan yang ramah lingkungan.
Sebagai anak muda yang peka terhadap perkembangan jaman dan informasi, maka proses bertani dan pengemasan hasil pertanian bisa disesuaikan dengan kondisi pasar saat ini. Tak hanya memiliki nilai jual yang tinggi, penerapan hal ini pun baik bagi lingkungan.
Berawal dari keinginan agar mengurangi beban paman dan keluarga besar saya yang kebanyakan merupakan petani, saya akhirnya tau sedikit lebih banyak soal pertanian dan kini ikut terlibat dalam pemilihan bibit tanaman yang menghasilkan dan diminati, proses pengolahan menjadi produk bernilai tambah, hingga proses pemasaran menggunakan fasilitas digital yang ada.
Meski saya tau yang saya perbuat belum seberapa, tapi sepertinya sekarang saya lebih paham, kenapa dulu Bung Karno pernah berkata: “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
Semangat dan ilmu yang dimiliki pemuda, jika digabungkan dengan kebijaksanaan dan pengalaman mereka yang sudah malang melintang di dunia pertanian, bisa menjadi resep untuk kembali menggairahkan pertanian di tanah air.
Semoga lebih banyak lagi anak muda yang mau memajukan pertanian Indonesia. Saya akan menanti sharing ilmu dari rekan-rekan petani muda.