Diskusi Advokasi Tata Kelola Tanah Kas Desa Masyarakat Miskin
Kamis, 28 November 2019,
Bersama FORMASI (Forum Masyarakat Sipil) Kebumen, AKATIGA menyelenggarakan diskusi “Strategi Advokasi Kebijakan : Sumber Daya Alam/Lahan, Pertanian, Kesempatan Kerja Orang Muda di Perdesaan.Diskusi diadakan di Markas Formasi, Jl. Lingkar Selatan No. Km. 4, Pakeyongan, Podoluhur, Klirong, Kebumen.
Dihadiri perwakilan perangkat desa dan perwakilan pemuda dari Desa Bonorowo, Sinungrejo, Podoluhur, Sidomulyo, Kritig dan Kalibeji. Turut hadir Rajif Diw Angga dari IRE (Institute for Research and Empowerment) Yogyakarta dan Agus Nahrowi dari CSE (Centre of Social Exelence) Indonesia. Diskusi diagendakan untuk berbagi pandangan terkait upaya advokasi mendorong tata kelola tanah kas desa agar dapat diakses masyarakat miskin dan orang muda.
Sebagai pembuka diskusi, Yusuf Murtiono dari FORMASI menerangkan bahwa tanah kemakmuran/kas desa fungsinya adalah untuk memakmurkan warga desa itu sendiri. Sebab itu FORMASI berupaya mendorong reformasi tatakelola tanah kemakmuran/kas desa di Kebumen agar dapat diakses warga miskin yang tidak punya garapan.
Sejak dulu uang sewa dari lelang tanah kas desa memang merupakan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang dibutuhkan untuk operasional desa. Namun setelah adanya Alokasi Dana Desa (ADD), dan Dana Desa (DD), semestinya pemerintah desa sudah bisa melepas ketergantungan pada hasil sewa tanah kas desa. Yang perlu dipahami, akses masyarakat miskin pada lahan kas desa, sesungguhnya merupakan wujud nyata dalam memperbaiki penghidupan masyarakat dan mempertahankan ketahanan pangan di desa.
Nofa dari AKATIGA menambahkan tentang bagaimana akses lahan kas desa sebaiknya juga dialokasikan untuk orang muda. Penelitian AKATIGA menemukan bahwa orang muda saat ini meskipun mau terjun dalam dunia pertanian, tapi masih terkendala banyak hal. Antara lain yaitu susahnya akses lahan dan minimnya pengetahuan bertani inovatif yang memberi penghasilan lebih baik. Dalam hal ini, dengan adanya alokasi lahan untuk diakses orang muda, itu akan jadi kesempatan bagi mereka untuk dapat masuk dalam lapangan kerja pertanian.
Dari inisiatif yang didorong FORMASI, sudah ada beberapa desa di Kebumen yang memberikan akses lahan desa kepada warga kurang mampu dan orang muda. Salah satunya adalah desa Sidomulyo di Kecamatan Petanahan. Sejak tahun 2014, Desa Sidomulyo memulai sistem tersebut. Manfaatnya sudah sama-sama dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah di desa itu.
Harapannya, praktik baik ini dapat ditularkan ke desa-desa lain di Kebumen. Untuk itulah perlu dibuat rujukan tertulis (peraturan) tata kelola tanah kas desa dengan praktik baik seperti di Sidomulyo, dapat digunakan sebagai pedoman bagi desa-desa lain di Kebumen.
Prinsip dan Strategi Advokasi Kebijakan
Terkait upaya advokasi yang akan ditempuh, Rajif dari IRE dan Gusrowi dari CSE berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka, untuk dapat menjadi pembelajaran bagi advokasi tatakelola tanah kas desa di Kebumen.
Rajif menceritakan bahwa dalam pengalaman IRE, proses advokasi kebijakan itu dimulai dari merumuskan satu isu atau permasalahan. Dimulai dengan memetakan masalah yang harus dilihat secara utuh, baik itu yang bersumber dari kebijakan yang sudah ada (mis. RPJMN dalam menjalankan UU Desa), atau fenomena yang belum diakomodasi dalam kebijakan.
Kemudian mendudukkan masalah yang dituju, dan mengkaji fakta pada level mikro, membandingkan antara harapan dan kenyataan. Setelah itu membangun rumusan usulan kebijakan yang lebih tepat. Selanjutnya yaitu komunikasi kebijakan, yakni menyampaikan pada pihak terkait mengenai apa yang harus dilakukan dalam merubah kebijakan. Lalu berkolaborasi dengan para pihak untuk mengawal proses masuknya usulan sebagai kebijakan pemerintah.
Di lain sisi Gusrowi dari CSE menjelaskan prinsip-prinsip penting dalam proses advokasi kebijakan publik. Ia mengawali pemaparannya dengan memperjelas kembali makna dari advokasi, yaitu proses mendampingi, membela apa yang menjadi hak masyarakat. Hal itu merupakan prinsip. Gusrowi menekankan bahwa dalam mengadvokasi suatu kebijakan publik, maka sangat penting yang namanya empati, yaitu simpati yang diikuti dengan aksi. Kita perlu memikirkan dampak baik dan buruk yang akan muncul dan mempengaruhi siapa.
Para pihak yang dilibatkan berhak tahu tentang hal tersebut, terutama yang terkena dampak buruk. Jika di dalam proses itu ada penolakan, jangan lihat itu sebagai jalan buntu/harus berseberangan. Jangan hanya melihat di permukaan yang nampaknya berbeda, tapi telusuri di kedalaman kepentingan masing-masing, sehingga terlihat di titik mana kepentingannya bisa bertemu. Itu yang menjadi kunci membuat para pihak dapat berkolaborasi.
Respon Perwakilan Desa
Saat forum diskusi dibuka, respon dari perwakilan desa cukup beragam dan menarik. Ada yang mengutarakan keraguan dan kecenderungan tidak sepakat. Basyuni, Perangkat Desa Bonorowo, menjelaskan bahwa menurut dia ide tentang tata kelola tanah kas desa ini menarik, namun saat dia ini memilih untuk mempelajari dulu bagaimana manfaatnya di desa lain. Meski demikian, dia berharap akan adanya pedoman yang lebih jelas dan terarah. Misalnya peraturan tingkat kabupaten.
Sementara itu Kukuh, perwakilan perangkat desa Sinungrejo mengungkapkan bahwa pihak mereka belum tertarik dengan ide tanah kas desa untuk pemuda. Selain karena alasan pemuda desa lebih memilih bekerja di perantauan, menurut mas Kukuh, saat ini kebutuhan desa terhadap pemasukan dari sewa tanah kas desa masih tinggi.
Di lain sisi, respon positif dan dukungan juga muncul dari para perwakilan desa. Ruslin, perwakilan perangkat Desa Sidomulyo bercerita bahwa saat ini mereka sudah memberikan akses tanah kas desa pada masyarakat miskin dengan sistem lelang bergilir. Serta juga sudah memberi akses pada orang muda melalui lahan karang taruna.
Asrodin, Kepala Desa Podoluhur menilai inisiatif ini merupakan kesempatan baik untuk menata ulang tanah kas di desa mereka agar dapat membuka kesempatan bagi kelompok muda. Hal itu didukung oleh pihak BPD  yang akan menyusun perdes tanah kas desa.
Kemudian Agus, perangkat Desa Kalibeji mengungkapkan bahwa meski berbeda cara, tapi usulan ini sejalan dengan visi misi pemerintah Kalibeji. Pemerintah desa Kalibeji saat ini sedang melakukan uji coba diversifikasi komoditas pertanian, yakni menanam Pare di tanah bengkok kepala desa. Ke depannya akan diperluas di tanah bengkok perangkat lainnya dengan melibatkan kelompok muda sebagai mitra petaninya.
Terkait tanah Kas Desa, meski selama ini digunakan untuk insentif RT, mewakili pandangan Kades, Agus melihat ke depan masih terbuka peluang. Misalnya jika tanah kas desa yang dikelola oleh pemuda, bisa dioptimalkan sehingga bagi hasilnya dapat memenuhi kebutuhan insentif untuk RT.
Tanggapan dan Masukan
Berdasarkan respon dari perwakilan desa, Rajif kemudian memberi masukan yang bisa dilakukan untuk proses advokasi ke depan. Di antaranya adalah sebagai berikut ; a) inventarisasi tanah kas desa dan penggunaannya. Berdasarkan PP pelaksanaan UU Desa pemerintah kabupaten dapat diminta memfasilitasi identifikasi dan inventarisasi aset yang ada di desa. b) manfaatkan musyawarah dusun dan musyawarah desa untuk mempertemukan masing-masing kepentingan. c) Desa perlu berpikir bagaimana pengembangan ekonomi lokal yang inklusif dan demokratis.
d) perlu mengarusutamakan inklusi sosial, bahwa yang paling tidak beruntung yang paling kita utamakan. e) untuk Advokasi peraturan tingkat kabupaten, selain asesmen tata kelola tanah desa, desa-desa yang dilibatkan perlu juga difasilitasi untuk menyepakati bersama apa perubahan yang diharapkan, sehingga menjadi pertimbangan dalam kebijakan yang diadvokasi.
Sementara, Gusrowi kembali mengingatkan, bahwa ada istilah, deso mowo coro (tiap desa punya cara), yang perlu direnungkan dalam proses ini. Masing-masing desa punya cara untuk menyelesaikan masalah, jangan sampai advokasi ini tidak dapat mengakomodasi hal itu. Untuk ke sana mungkin perlu masuk dari pemerintah desanya dulu, didorong untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, belum ke peraturan yang tingkat lebih tinggi di kabupaten.
Strategi masuknya gunakan cara dan bahasa yang mudah diterima di masing-masing desa. Apa yang perlu dibicarakan terlebih dahulu adalah bagaimana semua warga punya kepedulian kepada warga yang tidak beruntung dengan memberikan sebagian tanah kas desa yang mereka punyai bersama-sama.
Sebagai penutup, Lia dari AKATIGA menjelaskan bahwa proses diskusi saat ini adalah dalam proses awal untuk mempertemukan kepentingan bersama. Ke depannya kita masih terus mengumpulkan pengetahuan ada berapa dan untuk siapa pemanfaatan tanah kas desa ini agar dapat mendorong kebijakan yang lebih tepat dan lebih baik lagi.