74%proyek infrastruktur PNPM-RESPEK yang disurvei sangatlah baik (21%), baik (34%) atau memiliki kualitas yang memadai (19%). 26% sisanya berkualitas buruk atau tidak mencukupi. Kegagalan terjadi karena berbagai alasan, termasuk: kurangnya pendetailan dalam survei awal; desain yang tidak sesuai dengan lokasi; jarak minimum antara berbagai komponen infrastruktur tidak memenuhi SNI; harga bahan baku; ketersediaan sumber air; aksesibilitas; kurangnya supervisi dan kualitas fasilitasi; kurangnya sumber daya manusia termasuk TPKK dan tukang; tanah sengketa; dan konflik.
Barefoot Engineer merupakan bagian dari PNPM dan RESPEK. BE adalah proyek untuk melatih lulusan sekolah menengah dan diploma agar menjadi fasilitator teknik PNPM di provinsi Papua dan Papua Barat, dalam meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur berskala kecil di tanah Papua. Proyek ini dilatarbelakangi oleh persoalan kekurangan tenaga terampil di bidang konstruksi yang dapat bekerja dalam konteks tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).
Studi evaluasi yang dilakukan AKATIGA bertujuan untuk menilai pencapaian lulusan BE putaran III. Penilaian ini dilakukan melalui penelaahan terhadap infrastruktur PNPM Perdesaan dan RESPEK yang terbangun, pengoperasian dan pemeliharaan, dan proses pemilihan/penentuan infrastruktur. Evaluasi dilakukan dalam tiga kategori yang berbeda yang terdiri dari (1) kualitas infrastruktur, yaitu faktor-faktor yang menghambat kualitas dan aspek fungsionalnya; (2) operasi dan pemeliharaan; dan (3) dampak lingkungan/sosial dari infrastruktur yang ada.
Studi ini menemukan bahwa 74% proyek infrastruktur PNPM-RESPEK yang disurvei sangatlah baik (21%), baik (34%) atau memiliki kualitas yang memadai (19%). 26% sisanya berkualitas buruk atau tidak mencukupi. Kegagalan terjadi karena berbagai alasan, termasuk: kurangnya pendetailan dalam survei awal; desain yang tidak sesuai dengan lokasi; jarak minimum antara berbagai komponen infrastruktur tidak memenuhi SNI; harga bahan baku; ketersediaan sumber air; aksesibilitas; kurangnya supervisi dan kualitas fasilitasi; kurangnya sumber daya manusia termasuk TPKK dan tukang; tanah sengketa; dan konflik.
Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada kualitas infrastruktur antar kecamatan yang dibantu oleh fasilitator teknis BEIII, fasilitator teknis reguler, atau tidak ada fasilitator teknis. Di hampir semua kondisi, proporsi infrastruktur dengan kualitas yang dapat diterima (Cukup, Baik, dan Sangat Baik) lebih tinggi daripada kualitas yang tidak dapat diterima (Agak Kurang, Kurang). Di kecamatan dengan fasilitator teknis BEIII, ada proporsi infrastruktur yang lebih tinggi yang memiliki kualitas prima bila dibandingkan dengan kecamatan dengan fasilitator teknis reguler. Kecamatan tanpa fasilitator teknis pun ternyata masih mampu menghasilkan infrastruktur dengan kualitas yang dapat diterima.
Proyek ini berhasil menghasilkan fasilitator teknis terampil yang mengurangi kesenjangan sumber daya manusia di provinsi-provinsi. Akan tetapi, fasilitasi BEIII masih memerlukan perhatian khusus, terutama pada tahap pengawasan pelaksanaan dimana banyak permasalahan muncul, termasuk konflik lokal dan atau perubahan desain yang dilakukan oleh Tim Pelaksana Kegiatan Kampung atau tukang. Pada tahap ini, pengawasan rutin dan fasilitasi lanjutan harus dilakukan agar masalah tetap terselesaikan. Kualitas fasilitasi pada tahap ini perlu ditekankan selama pelatihan khusus.
Meskipun penelitian ini menemukan bahwa mayoritas Tim Pelaksana Kegiatan Kampung memiliki kualitas yang baik, namun sering pula mereka dan tukang menghadapi (atau terkadang menciptakan) masalah. Beban tugas yang banyak, administrasi memfasilitasi alokasi proyek dari dua aliran pendanaan setiap tahun anggaran, menyelesaikan dan melaporkan proyek, melakukan perjalanan ke pertemuan wajib yang jauh, membuat TPKK tidak mempunyai waktu untuk melakukan tugas tambahan, seperti managemen konflik.