AKATIGA bekerjasama dengan AIPD melakukan studi dasar (baseline study) program LANDASAN Papua untuk menilai kondisi masyarakat (laki-laki dan perempuan) dan lembaga pemerintah kampung (desa) dalam perbaikan pelayanan publik di Provinsi Papua dan Papua Barat pada akhir tahun 2013. Studi ini mengeksplorasi ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas penyampaian layanan masyarakat dalam sektor kesehatan dan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta bagaimana proses partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas pemerintah desa juga layanan dasar (pendidikan dasar dan kesehatan) dalam proses perencanaan penganggaran hingga berpengaruh kepada layanan yang diberikan.
Studi ini bersifat retroaktif (responden mengingat kembali situasi dari akhir tahun 2013) yaitu melakukan tinjauan umum mengenai situasi dan kondisi awal terkait penyampaian layanan publik dan pengelolaan keuangan publik di sektor kesehatan dan pendidikan di Papua dilakukan sebelum pelaksanaan program. Penelitian dilakukan di empat kabupaten berdasarkan tiga kategori yang sesuai dengan program LANDASAN, yaitu (1) wilayah dengan inisiatif program LANDASAN/tidak ada intervensi dari program AIPD lainnya; (2) area dengan inisiatif program LANDASAN dan program AIPD lainnya; dan (3) area tanpa inisiatif program LANDASAN atau program AIPD lainnya.
AKATIGA mengumpulkan data sekunder dan melakukan penggalian data primer dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif secara khusus digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci yang berkaitan dengan kepuasan publik terhadap manajemen anggaran (perencanaan, penganggaran, penggunaan riil, dan akuntabilitas) serta ketersediaan dan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan, dan pemerintah desa. Sedangkan metode kualitatif dicapai dengan melakukan wawancara mendalam informan kunci, observasi, dan transek.
Proses perencanaan dan penganggaran yang merupakan titik awal pembangunan desa masih eksklusif, setidaknya pada tiga unit pelayanan (Pemdes, kesehatan, dan pendidikan). Memang ada desa yang melaksanakan proses Musrenbang, meski belum diprakarsai oleh pemerintah desa. Pelaksanaan Musrenbang sebagian besar disebabkan oleh intervensi program donor yang dilaksanakan di desa-desa. Meski pelaksanaan Musrenbang telah dimulai, kelompok yang terpinggirkan masih belum terlibat. Hal ini mengakibatkan proses perencanaan di tiga sektor layanan bersifat elitis dan eksklusif. Kondisi serupa ditemukan dalam proses administrasi sekolah dasar, Puskesmas dan unit jaringannya.
Lebih lanjut lagi, studi ini menemukan bahwa proses perencanaan dan penganggaran untuk layanan kesehatan dan pendidikan kurang bersifat inklusif. Faktor yang juga mempengaruhi ketidaktercapaian tujuan program adalah rendahnya akses terhadap informasi, laporan pertanggungjawaban yang lemah, kesenjangan gender dalam pengetahuan, kesulitan akses, dan (rendahnya) tingkat partisipasi dalam program.
Hampir tidak ada satupun responden yang mengetahui proses perencanaan dan penganggaran di Puskesmas. Puskesmas belum memanfaatkan kesempatan untuk berbagi perencanaan dan penganggaran Puskesmas selama berkegiatan di desa. Laporan Puskesmas tentang penggunaan aktual anggaran juga dikembangkan dan diajukan untuk tujuan administratif saja, yaitu untuk Dinas Kesehatan atau pihak terkait lainnya.
Di sektor pendidikan, meskipun manajemen sekolah dasar tidak partisipatif atau akuntabel dan transparan terhadap penerima manfaat, secara keseluruhan orang tua menyatakan puas (45%) dengan manajemen sekolah dasar setempat, yang terdiri dari kegiatan komite sekolah, rapat guru orang tua, dan pengelolaan dana pemerintah. Di sisi lain, para kepala sekolah masih menganggap bahwa rangkaian perencanaan, penganggaran, penggunaan dana, dan proses akuntabilitas berada di bawah wewenang sekolah dan keputusan kepala sekolah saja. Masyarakat juga cenderung memiliki pandangan yang sama.